Thursday, September 17, 2009

MASYARAKAT TANPA NEGARA

Oleh: Firmansyah

Untuk menyebut beberapa contoh, pedagang kecil seperti PKL, pengamen dan pengasong, penarik becak dan sopir bis kelas ekonomi adalah pelaku ekonomi kerakyatan yang sebenarnya. Bagimana perlakuan negara terhadap mereka yang berusaha secara kecil-kecilan ini?

Umumnya konsumen pedagang kecil adalah penduduk miskin kampung di mana pedagang itu tinggal dan berusaha. Sebagai pengasong dan pengamen, pembeli dan pendengarnya adalah penumpang bus kota dan kereta kelas ekonomi yang umumnya bukan orang berada. Sebagai penarik becak dan sopir bus kelas ekonomi, penumpangnya bukan orang kaya.
Pedagang kecil tidak boleh mendirikan warungnya di kompleks perumahan mewah. Di samping dilarang, orang-orang kaya belanja di toko serba ada—yang menyajikan kenyamanan dan kesejukan—dengan harga jauh lebih murah dibandingkan belanja ketengan di pinggir jalan. Pengasong dan pengamen tidak boleh beroperasi di dalam kereta eksekutif. Di samping pintunya tertutup rapat, mereka pasti akan dibentak oleh petugas dan penumpang yang umumnya orang kaya. Tukang becak dilarang beroperasi di dalam kota (Jakarta), karena dianggap biang kemacetan.
*****
Secara yuridis formal berdagang di pinggir jalan dilarang. Tapi PKL—yang berusaha dengan modal sendiri, tanpa bantuan siapa pun termasuk negara—dipungut bayaran oleh mereka yang berkuasa, preman jalanan dan berseragam. Karena dianggap biang kemacetan sumpah serapa dialamatkan kepada sopir bus ekonomi/angkot, tapi pelajar dan mahasiswa mendapat subsidi ongkos murah dari sang sopir.
Ongkos angkot/bus murah bukan subsidi negara atau pengusaha kaya, melainkan subsidi sang sopir. Jika jumlah pelajar dan mahasiswa di Jabodetabek satu juta orang, sehari dua kali naik bis/angkot (PP) dengan selisih Rp 1.000 lebih murah daripada penumpang umum, berarti subsidi yang diberikan sopir bis/angkot mencapai Rp 2 milyar. Sebulan (25 hari) Rp 50 milyar, setahun Rp 600 milyar. Berapa juta pelajar dan mahasiswa di seluruh Indonesia, berapa kali mereka naik angkot/bis dalam sehari. Berapa triliyun subsidi yang diberikan sopir bis/angkot, sementara anak si sopir—yang miskin—tidak sekolah, putus di tengah jalan karena tak mampu bayar biaya sekolah. Dengan demikian, orang-orang miskinlah yang memberi subsidi pada orang-orang yang lebih mampu daripada dirinya. Bukan sebaliknya.
Pejabat dan mantan pejabat kaya mendapat kemudahan dan fasilitas negara, bantuan segera mengalir dari kolega kaya jika dibutuhkan. Ketika seorang artis kaya sakit misalnya, teman-teman artisnya yang kaya mengadakan konser amal penggalangan dana. Milyaran dana terkumpul, yang dipergunakan untuk biaya berobat ke luar negeri. Sementara orang-orang miskin harus meninggalkan anaknya di rumah sakit, karena tak mampu bayar biaya berobat di rumah sakit kelas “kambing” sekalipun.
Sumpah serapa keluar dari mulut si nyonya rumah kaya jika yang meminta “sumbangan” orang-orang yang terlihat dekil dan miskin. Sebaliknya jutaan uang diberikan jika yang meminta adalah kenalan kaya dan anak pejabat. Jadi orang kaya mendapat pertolongan dari orang-orang yang juga kaya, si miskin mendapat pertolongan dari orang-orang yang juga miskin. Rezeki si miskin agaknya tidak jauh-jauh amat dari orang miskin yang lain.
*****
Idealnya—dan seharusnya—solidaritas terbangun secara vertikal. Yang kaya memberi yang miskin, yang kuat menolong yang lemah, negara melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Tapi nyatanya, negara bagi orang-orang miskin adalah institusi yang tidak jelas peran dan fungsinya. Negara hanya sebuah konsep yang abstrak, hanya tampak sebagai pejabat dan aparat yang hidupnya enak, kaya raya, rumah besar, ke mana-mana mengendarai mobil mewah.
Atas nama pembangunan dan kesejahteraan, negara mengutip berbagai macam pungutan dan pajak pada penduduk miskin. Pejabat dan aparat hadir jika ada maunya, mendata untuk kepentingan pemilu dan saat kampanye.
Dengan demikian, negara di mata orang-orang miskin menampakan dua sisi (gelap) sekaligus: pertama, negara identik dengan tukang data dan tukang pungut, baik yang dilegalkan maupun liar (pungli); kedua, atas nama undang-undang—yang dibuat pejabat—dan ketertiban sosial, negara hadir untuk menghardik, menakut-nakuti, bahkan membunuh.
*****
Meskipun (terkesan) baik dan patut dihargai, menolong orang yang juga kaya atau lebih kaya sama saja “menggarami air laut”. Membantu dalam konteks itu bukan karena orang yang dibantu memang membutuhkan pertolongan, melainkan persoalan eksistensi dan kebanggaan diri. Bantuan yang diberikan bukan untuk meringankan beban orang yang dibantu, melainkan untuk menyenangkan diri sendiri. Di balik tindakan itu terselip motif untuk membangun citra sebagai orang baik dan dermawan, ujung-ujungnya adalah populeritas dan berharap balas. Kecuali doa, bukankah tidak ada balasan yang dapat diharapkan dari orang-orang miskin?
Pedagang kecil, pengasong dan pengamen, tukang becak dan sopir bus/angkot adalah orang-orang miskin. Pendidikannya rendah, tinggal di kampung-kampung kumuh kota dan desa, di jalanan sebagai gelandangan terlunta-lunta. Mereka menghidupi keluarganya tanpa perlindungan, tanpa kemudahan dan fasilitas dari siapa pun, termasuk negara. Singkatnya “tidak pernah merepotkan” siapa pun.
“Orang-orang yang tidak pernah merepotkan” inilah yang disebut rakyat. Itulah masyarakat tanpa negara. Siapa rakyat? Jawabnya tergantung pada siapa anda bertanya. Jika anda bertanya pada penguasa, rakyat adalah orang-orang yang dikuasai. Jika anda bertanya pada orang pintar, rakyat adalah orang-orang bodoh. Orang pintar bukan rakyat, melainkan agent of change dan pengembang masyarakat. Jika anda bertanya pada orang kaya, rakyat adalah orang-orang yang berhak mendapat zakat fitrah dan daging qurban sekepalan tangan setahun sekali, raskin dan BLT. Jika anda bertanya pada orang beriman, rakyat atau umat adalah orang-orang yang tidak beriman atau rendah kadar imannya. Nah… jika anda gemar “menceramahi” orang lain tentang moralitas, maka “pangkat” anda bukan rakyat. Iman anda pasti sangat mulia dan iman orang yang anda “ceramahi” pasti cetek sekali. Orang beriman cetek itulah rakyat, calon penghuni neraka.
Kehadiran rakyat tidak pernah diharapkan. Sebagai “anak haram” pembangunan, kelahirannya karena kecelakaan hubungan gelap “bapak-ibu pertiwi” yang melacurkan diri. Sebagai “anak haram”—yang gagal aborsi—, kehadiran rakyat selalu dihardik, dicaci maki, digusur, bahkan dibunuh. Jadi negara adalah dan merupakan institusi paling kejam dan sadis, maka Gue Kapok Jadi Rakyat!

No comments:

Post a Comment