Monday, August 03, 2009

Politik-uang



PILKADES DAN PILPRES



(Catatan Reflektif Tentang Politik Uang)



 



Oleh: Firman Radesa



 



Pada tataran lokal, dalam pilkades, politik uang sudah menjadi fenomena yang dianggap wajar dan seharusnya begitu. Pada tingkat nasional, dalam pemilu, politik uang “dilegalkan”. 



 



Tidak seperti pemilu yang seluruh biayanya ditanggung negara, dalam pilkades hampir seluruh biayanya ditanggung bersama para calon. Jika biaya yang dibutuhkan Rp 20 juta dan calon dua orang misalnya, masing-masing calon menanggung Rp 10 juta. Ini semacam biaya pendaftaran, wajib disetor para calon pada panitia pemilihan. Konsekuensinya adalah bakal calon “bergizi buruk” sudah gugur sebelum bertanding, kalah bersaing dengan orang-orang kaya desa. 



Dua-tiga bulan sebelum pemilihan calon kades terlihat paling sibuk dan dermawan, rajin nian tandang ke rumah-rumah penduduk dan bersodakoh. Jadi selain biaya pendaftaran, calon kades mesti menyiapkan biaya rutin seperti “buah tangan” ketika tandang ke rumah-rumah penduduk, tim sukses, dsb; biaya tak terduga seperti membantu biaya berobat warga yang sakit, hajatan, dsb; biaya serangan fajar, yang diberikan kepada calon pemilih sebelum tiba di TPS. 



Momen inilah yang dimanfaatkan penduduk untuk meminta uang pada para calon. Mereka terima pemberian dari semua calon, saat pemilihan mereka memilih calon yang memberi uang paling besar. Jadi alasan orang memilih calon tertentu dalam pilkades bukan berdasarkan kinerja, track-record atau hal lainnya yang bersifat abstrak, melainkan seberapa besar uang yang diberikan. Lalu, adakah kesamaan politik uang dalam pilkades dengan politik uang dalam pemilu?



 



“LEGALISASI” POLITIK UANG



Seandainya pilpres diadakan tahun 2005, penulis yakin yang menang bukan presiden incumbent. Kenapa? Saat itu harga BBM dinaikan tiga kali, rakyat marah dan kecewa. Ketika harga BBM diturunkan (2008) disertai pemberian dana BLT untuk 19,2 juta keluarga miskin menjelang pemilu (2009), rakyat langsung senang. Maka ketika penulis bertanya pada beberapa keluarga penerima BLT dua minggu sebelum pilpres siapa yang akan dipilih, jawabannya sama: SBY. Kok SBY? Ya, agar dapat BLT lagi. Satu minggu setelah pilpres, penulis mengatakan pada keluarga penerima BLT tersebut bahwa tahun 2010 tidak ada lagi BLT, mereka langsung merespons: kok begitu? Tahu begini enggak bakalan saya milih.....



Jika jumlah anggota setiap keluarga miskin penerima BLT rata-rata tiga orang, berarti potensi suaranya 57,6 juta. Ini sama dengan 32,73% dari jumlah pemilih terdaftar (176 juta). Lalu, menjelang pilpres (Mei/Juni) pemerintah memberikan gaji bulan ke-13 untuk tidak kurang 5 juta PNS/TNI/Polri/pensiunan. Jika jumlah anggota keluarganya masing-masing tiga orang, berarti potensi suara yang bisa diraup 15 juta (8,52%).



Di samping wataknya yang (memang) cenderung mendukung partai dan calon yang sedang berkuasa—partai apapun dan siapa pun yang berkuasa—, umumnya PNS/TNI/Polri/pensiunan takut perubahan. Bagi mereka perubahan belum tentu dapat menjamin kondisi akan menjadi lebih baik. Presiden baru belum tentu akan memberikan gaji bulan ke-13, maka mereka memilih calon incumbent.



Ditambah, katakanlah, 35 juta keluarga anggota/simpatisan partai pendukung koalisi dan pemilih lainnya yang merasa diuntungkan oleh calon incumbent, potensi suaranya 19,89%. Jadi, terlepas dari persoalan pelanggaran dan kecurangan, suara yang diraup calon incumbent lebih dari 50% (61,14%) bukan angka yang mengejutkan. 



Bagi keluarga miskin penerima BLT, keluarga anggota/simpatisan partai koalisi pendukung calon incumbent—umumnya tergolong miskin—dan PNS/TNI/Polri/pensiunan rendahan, tidak butuh macam-macam. Mereka butuh sesuatu yang real, konkret, terlihat dan dapat langsung dirasakan saat itu juga. Nah... yang terlihat dan dapat dirasakan penduduk miskin itu adalah harga BBM turun, adanya pemberian gaji bulan ke-13, dan penyaluran dana BLT.



Dengan demikian menurunkan harga BBM, memberikan gaji bulan ke-13, menyalurkan dana BLT atau lainnya yang sejenis menjelang pemilu adalah politik uang yang “dilegalkan”—yang “menggiring” penduduk miskin memilih calon incumbent, dan “menghadiahi” SBY kursi presiden untuk kedua kalinya. Inilah demokrasi!



 



“CACAT BAWAAN”



Demokrasi (memang) didesain sebagai alat kaum borjuis untuk merebut kekuasaan dari tangan raja. Kekuasaan harus direbut, maka terjadilah pemberontakan kaum borjuis Perancis “menggunakan kekuatan rakyat jelata” dengan semboyan “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”. Rakyat bergerak, revolusi menang. Raja terjungkal, otokrasi runtuh, diganti dengan sistem pemerintahan “demokrasi”.



Pemilu sebagai instrumen demokrasi merupakan cara paling efektif untuk merebut kekuasaan, dengan “menggiring” penduduk miskin ke dalam bilik suara. Melalui pemilu penduduk miskin dimobilisasi untuk mengikuti rapat-rapat akbar saat kampanye. “Semua penduduk berkumpul di dalam rapat yang seolah rapatnya raja-raja”, kata Bung Karno.



Penduduk miskin “dibutakan matanya”, hadir dalam “rapatnya raja-raja” itu hanya untuk mendengar “pembohong besar” berpidato dan menebar janji. Mereka tidak butuh visi-misi, apalagi ideologi, kecuali sedikit uang, kaos, dan nasi bungkus. Untuk itu mereka “rela digiring” ke dalam bilik suara untuk memilih orang-orang kaya menjadi “raja”.



“Raja” di alam demokrasi dipilih secara demokratis berdasarkan suara terbanyak, suara rakyat—kebanyakan penduduk miskin. Jadi tak perlu heran jika “raja” di negara republik seperti Indonesia kebanyakan orang kaya. Orang gila sekalipun jika punya banyak uang dan boleh mencalonkan diri berpeluang untuk dipilih, makanya dalam pileg 9 April lalu orang yang sudah meninggal dunia dan koruptor saja terpilih. Dan menang!



 



2