Thursday, September 17, 2009

"KONGLOMERAT" DESA

(Catatan Tentang Peran Tengkulak)
Oleh: Firmansyah

Bukan hanya urusan bercocok tanam di sawah, hubungan petani dengan tengkulak merupakan persoalan “kepatuhan dan kesetiaan”. Hanya tengkulak yang bisa menjamin hampir seluruh kebutuhan hidup keluarga tani, maka “tali ikatan” yang menghubungkan petani dengan tengkulak selalu dijaga dan dipelihara.

Meskipun tercatat sebagai utang, selama petani masih mampu mencangkul di sawah biaya hidup keluarganya dijamin tengkulak. Dalam kondisi darurat seperti anggota keluarga sakit misalnya, tengkulak menjadi tumpuan harapan untuk biaya berobat ke rumah sakit. Jadi tak perlu heran jika kebanyakan petani kecil di pedesaan berhubungan dengan keluarga tengkulak secara turun temurun. Antar generasi.

AKSES EKONOMI
Secara umum petani dapat dikelompokan ke dalam empat kategori. Pertama, petani penggarap; yaitu petani yang menggarap sawah milik tengkulak dengan sistem sewa. Di daerah Bekasi misalnya, sewa sawah—dibayar dalam bentuk gabah setelah panen, rata-rata satu ton per hektar (2007/08)—diperhitungkan per sekali musim tanam.
Seorang petani penggarap sawah 0,5 ha di Bekasi, paling tinggi menghasilkan gabah dua ton. Hanya 1,5 ton milik petani, sedangkan 0,5 ton biaya garap. Jika dirupiahkan dengan harga gabah Rp 2.200/kg (2008), biaya garap tersebut mencapai Rp 1,1 juta. Ini tidak termasuk biaya produksi yang mencapai Rp 1,5 juta.
Jika 1,5 ton gabah milik petani dijual semua, uang yang dihasilkan Rp 3,3 juta. Setelah dikurangi biaya produksi, sisanya Rp 1,8 juta. Lumayan besar. Tapi tidak ada uang yang bisa dibawa pulang, karena petani harus membayar utang biaya hidup keluarganya rata-rata Rp 2 juta selama musim tanam (4 bulan).
Kedua, petani gurem; yaitu petani yang memiliki lahan tidak sampai 0,5 ha. Di daerah Bekasi, petani gurem rata-rata memiliki lahan 0,25 ha. Biaya produksinya mencapai Rp 750 ribu, biasanya pinjam pada tengkulak. Utang biaya produksi ini juga dibayar dalam bentuk gabah setelah panen.
Dari sawah seluas 0,25 ha itu paling tinggi manghasilkan gabah satu ton. Jika dijual semua, setara Rp 2,2 juta. Setelah dikurangi biaya produksi, sisanya Rp 1,450 juta. Ini tidak cukup untuk biaya hidup keluarganya selama musim tanam (4 bulan) yang mencapai Rp 2 juta.
Ketiga, buruh tani; yaitu petani yang mengolah sawah milik tengkulak dengan mendapat upah. Pada musim tanam buruh tani dapat upah Rp 15-25 ribu/hari (2007/08), musim panen upah dibayar dalam bentuk gabah dengan sistem 6-1: setiap enam (6) karung gabah yang berhasil dipanen—isi 50 kg/karung—, lima karung milik tengkulak, satu karung milik buruh tani.
Untuk menambah penghasilan buruh tani sering menyembunyikan beberapa karung gabah di tengah sawah, dibawa pulang pada malam hari. Inilah “perlawanan diam-diam” buruh tani terhadap tengkulak, seperti “perlawanan” petani terhadap negara dengan memboikot bayar pajak.
Keempat, tengkulak; yaitu petani kaya yang memiliki lahan luas. Di daerah Bekasi, tengkulak rata-rata memiliki lahan 10 ha. Di daerah Karawang dan Subang lebih luas lagi.
Sawah milik tengkulak biasanya diolah petani yang tidak punya lahan, dengan beberapa cara: (1) sistem maro, usaha pertanian dengan sistem bagi hasil. Jika biaya produksi ditanggung petani, hasil panen—setelah dikurangi biaya produksi—dibagi dua atau maro (50:50). Jika biaya produksi ditanggung tengkulak, hasil panen dibagi tiga. Satu bagian untuk petani, dua bagian untuk tengkulak; (2) sistem upah, usaha pertanian menggunakan buruh tani. Semua biaya termasuk risiko tanggungjawab tengkulak, hasil panen semua milik tengkulak; dan (3) sistem garap, usaha pertanian dengan cara penyewaan sawah kepada petani penggarap.

JARINGAN PASAR
Di Bekasi dan umumnya pantura Jawa Barat—salah satu sentra beras negeri ini—, tengkulak bukan hanya memiliki lahan luas dan menguasai gabah. Tengkulak di daerah ini memiliki pabrik penggilingan padi, toko penyedia input komersial pertanian, traktor dan mesin pompa penyedot air. Dengan demikian, tengkulak merupakan “konglomerat” yang menguasai “industri hulu” sekaligus “industri hilir” yang menguasai hampir seluruh akses ekonomi di pedesaan.
Tengkulak dalam kehidupan petani dipandang sebagai orang yang memudahkan petani dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kemudahan-kemudahan (baca: utang) yang diberikan dianggap sebuah “kepercayaan”. Semakin besar utang yang diberikan dianggap semakin tinggi tingkat “kepercayaan” tengkulak pada petani, mirip ibu pertiwi yang menganggap utang luar negeri sebagai “kepercayaan” negara kaya. Tapi, di balik kemudahan-kemudahan itu terselip motif untuk menguasai dan mendominasi agar petani makin tergantung pada tengkulak. Semakin tinggi ketergantungan petani pada tengkulak semakin mudah eksploitasi ekonomi terhadap petani.
Dengan cara itulah tengkulak bisa hidup enak dan kaya, mirip IMF yang hidup dari pinjaman yang diberikan kepada negara miskin seperti Indonesia. Masalahnya bagi petani, tengkulak juga “IMF” (Ipar, Mertua, Famili). Hubungannya terbangun atas dasar ikatan religius dan budaya—kebanyakan tengkulak tokoh agama dan masyarakat—serta kekerabatan, yang menyebabkan petani makin terikat dan tergantung pada tengkulak. Mustahil dapat ditembus dengan ide pemberdayaan melalui program “bagi-bagi uang recehan” berjangka waktu pendek yang bersifat parsial.
Tanpa ada kekuatan memaksa, hubungan petani dengan tengkulak sangat sulit diurai. Bagaimana pun, karena tak punya lahan, petani mau tidak mau harus berhubungan dengan tengkulak pemilik lahan. Sekalipun punya lahan (sempit), biaya produksi pinjam pada tengkulak. Sebab selain tengkulak, tidak ada orang atau lembaga yang sudi meminjamkan modal pada petani tanpa jaminan. Untuk memasarkan produknya, petani harus berhubungan dengan tengkulak karena hanya tengkulak yang menguasai pasar.
Dalam kondisi seperti itu, pilihan buat petani hanya satu: BERHENTI JADI PETANI. Inilah yang mendorong petani meninggalkan desa, berbondong-bondong menyerbu kota-kota besar (urbanisasi) untuk memasuki dunia baru. Dengan demikian hanya perbuatan sia-sia jika rezim kota melarang orang-orang desa menetap di kota jika faktor-faktor pendorong di desa tidak dibenahi. Tangkap menangkap penduduk miskin kota dan mengembalikan mereka ke desa-desa hanya menjadi ritual tahunan setelah lebaran. Ini “proyek akal-akalan” untuk menggelembungkan pundi-pundi pejabat dan aparat. Penduduk miskin yang ditangkap kemudian dikembalikan ke desa-desa akan kembali lagi ke kota, dengan membawa teman-teman dan saudaranya jauh lebih banyak.
Namanya juga “proyek akal-akalan”, yang untung aparat pemerintah. Bukankah urusan tangkap menangkap penduduk miskin kota ada dananya, ada biaya operasionalnya yang dianggarkan dalam APBD?

MASYARAKAT TANPA NEGARA

Oleh: Firmansyah

Untuk menyebut beberapa contoh, pedagang kecil seperti PKL, pengamen dan pengasong, penarik becak dan sopir bis kelas ekonomi adalah pelaku ekonomi kerakyatan yang sebenarnya. Bagimana perlakuan negara terhadap mereka yang berusaha secara kecil-kecilan ini?

Umumnya konsumen pedagang kecil adalah penduduk miskin kampung di mana pedagang itu tinggal dan berusaha. Sebagai pengasong dan pengamen, pembeli dan pendengarnya adalah penumpang bus kota dan kereta kelas ekonomi yang umumnya bukan orang berada. Sebagai penarik becak dan sopir bus kelas ekonomi, penumpangnya bukan orang kaya.
Pedagang kecil tidak boleh mendirikan warungnya di kompleks perumahan mewah. Di samping dilarang, orang-orang kaya belanja di toko serba ada—yang menyajikan kenyamanan dan kesejukan—dengan harga jauh lebih murah dibandingkan belanja ketengan di pinggir jalan. Pengasong dan pengamen tidak boleh beroperasi di dalam kereta eksekutif. Di samping pintunya tertutup rapat, mereka pasti akan dibentak oleh petugas dan penumpang yang umumnya orang kaya. Tukang becak dilarang beroperasi di dalam kota (Jakarta), karena dianggap biang kemacetan.
*****
Secara yuridis formal berdagang di pinggir jalan dilarang. Tapi PKL—yang berusaha dengan modal sendiri, tanpa bantuan siapa pun termasuk negara—dipungut bayaran oleh mereka yang berkuasa, preman jalanan dan berseragam. Karena dianggap biang kemacetan sumpah serapa dialamatkan kepada sopir bus ekonomi/angkot, tapi pelajar dan mahasiswa mendapat subsidi ongkos murah dari sang sopir.
Ongkos angkot/bus murah bukan subsidi negara atau pengusaha kaya, melainkan subsidi sang sopir. Jika jumlah pelajar dan mahasiswa di Jabodetabek satu juta orang, sehari dua kali naik bis/angkot (PP) dengan selisih Rp 1.000 lebih murah daripada penumpang umum, berarti subsidi yang diberikan sopir bis/angkot mencapai Rp 2 milyar. Sebulan (25 hari) Rp 50 milyar, setahun Rp 600 milyar. Berapa juta pelajar dan mahasiswa di seluruh Indonesia, berapa kali mereka naik angkot/bis dalam sehari. Berapa triliyun subsidi yang diberikan sopir bis/angkot, sementara anak si sopir—yang miskin—tidak sekolah, putus di tengah jalan karena tak mampu bayar biaya sekolah. Dengan demikian, orang-orang miskinlah yang memberi subsidi pada orang-orang yang lebih mampu daripada dirinya. Bukan sebaliknya.
Pejabat dan mantan pejabat kaya mendapat kemudahan dan fasilitas negara, bantuan segera mengalir dari kolega kaya jika dibutuhkan. Ketika seorang artis kaya sakit misalnya, teman-teman artisnya yang kaya mengadakan konser amal penggalangan dana. Milyaran dana terkumpul, yang dipergunakan untuk biaya berobat ke luar negeri. Sementara orang-orang miskin harus meninggalkan anaknya di rumah sakit, karena tak mampu bayar biaya berobat di rumah sakit kelas “kambing” sekalipun.
Sumpah serapa keluar dari mulut si nyonya rumah kaya jika yang meminta “sumbangan” orang-orang yang terlihat dekil dan miskin. Sebaliknya jutaan uang diberikan jika yang meminta adalah kenalan kaya dan anak pejabat. Jadi orang kaya mendapat pertolongan dari orang-orang yang juga kaya, si miskin mendapat pertolongan dari orang-orang yang juga miskin. Rezeki si miskin agaknya tidak jauh-jauh amat dari orang miskin yang lain.
*****
Idealnya—dan seharusnya—solidaritas terbangun secara vertikal. Yang kaya memberi yang miskin, yang kuat menolong yang lemah, negara melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Tapi nyatanya, negara bagi orang-orang miskin adalah institusi yang tidak jelas peran dan fungsinya. Negara hanya sebuah konsep yang abstrak, hanya tampak sebagai pejabat dan aparat yang hidupnya enak, kaya raya, rumah besar, ke mana-mana mengendarai mobil mewah.
Atas nama pembangunan dan kesejahteraan, negara mengutip berbagai macam pungutan dan pajak pada penduduk miskin. Pejabat dan aparat hadir jika ada maunya, mendata untuk kepentingan pemilu dan saat kampanye.
Dengan demikian, negara di mata orang-orang miskin menampakan dua sisi (gelap) sekaligus: pertama, negara identik dengan tukang data dan tukang pungut, baik yang dilegalkan maupun liar (pungli); kedua, atas nama undang-undang—yang dibuat pejabat—dan ketertiban sosial, negara hadir untuk menghardik, menakut-nakuti, bahkan membunuh.
*****
Meskipun (terkesan) baik dan patut dihargai, menolong orang yang juga kaya atau lebih kaya sama saja “menggarami air laut”. Membantu dalam konteks itu bukan karena orang yang dibantu memang membutuhkan pertolongan, melainkan persoalan eksistensi dan kebanggaan diri. Bantuan yang diberikan bukan untuk meringankan beban orang yang dibantu, melainkan untuk menyenangkan diri sendiri. Di balik tindakan itu terselip motif untuk membangun citra sebagai orang baik dan dermawan, ujung-ujungnya adalah populeritas dan berharap balas. Kecuali doa, bukankah tidak ada balasan yang dapat diharapkan dari orang-orang miskin?
Pedagang kecil, pengasong dan pengamen, tukang becak dan sopir bus/angkot adalah orang-orang miskin. Pendidikannya rendah, tinggal di kampung-kampung kumuh kota dan desa, di jalanan sebagai gelandangan terlunta-lunta. Mereka menghidupi keluarganya tanpa perlindungan, tanpa kemudahan dan fasilitas dari siapa pun, termasuk negara. Singkatnya “tidak pernah merepotkan” siapa pun.
“Orang-orang yang tidak pernah merepotkan” inilah yang disebut rakyat. Itulah masyarakat tanpa negara. Siapa rakyat? Jawabnya tergantung pada siapa anda bertanya. Jika anda bertanya pada penguasa, rakyat adalah orang-orang yang dikuasai. Jika anda bertanya pada orang pintar, rakyat adalah orang-orang bodoh. Orang pintar bukan rakyat, melainkan agent of change dan pengembang masyarakat. Jika anda bertanya pada orang kaya, rakyat adalah orang-orang yang berhak mendapat zakat fitrah dan daging qurban sekepalan tangan setahun sekali, raskin dan BLT. Jika anda bertanya pada orang beriman, rakyat atau umat adalah orang-orang yang tidak beriman atau rendah kadar imannya. Nah… jika anda gemar “menceramahi” orang lain tentang moralitas, maka “pangkat” anda bukan rakyat. Iman anda pasti sangat mulia dan iman orang yang anda “ceramahi” pasti cetek sekali. Orang beriman cetek itulah rakyat, calon penghuni neraka.
Kehadiran rakyat tidak pernah diharapkan. Sebagai “anak haram” pembangunan, kelahirannya karena kecelakaan hubungan gelap “bapak-ibu pertiwi” yang melacurkan diri. Sebagai “anak haram”—yang gagal aborsi—, kehadiran rakyat selalu dihardik, dicaci maki, digusur, bahkan dibunuh. Jadi negara adalah dan merupakan institusi paling kejam dan sadis, maka Gue Kapok Jadi Rakyat!

Tuesday, September 15, 2009

Bagian-1

1

KAMPUNG NELAYAN:

Sekilas Pandang

 

Setelah satu setengah jam lebih menempuh perjalanan dari Bekasi, sekarang aku berada di warung Nuraini di Gembong—satu kampung nelayan yang terdapat di daerah Bekasi, Jawa Barat. 

Jika bepergian ke daerah perkampungan nelayan paling ujung—dekat muara Sungai Citarum di laut Jawa, pantura Bekasi—aku selalu mampir di warung milik perempuan beranak tiga ini. Hari itu, entah untuk keberapa kalinya aku mampir di situ.

Sejak beberapa tahun lalu aku banyak beraktivitas di daerah ini maka, hampir setiap hari aku bolak-balik di perkampungan nelayan ini. Dan seperti biasanya, sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung paling ujung, aku mampir di warung Nuraini untuk istirahat sembari ngopi dan ngobrol dengan teman-teman nelayan yang sering nongkrong di situ. 

Hari itu Nuraini terlihat duduk melamun seorang diri di bale di depan warungnya. Entah apa yang ia pikirkan. Pandangannya tak lepas memandang ke jalanan kampung yang selalu tampak ramai, hampir setiap hari. Jalanan kampung selalu ramai seperti itu, karena jalanan ini merupakan urat nadi orang lalu lalang untuk berbagai keperluan. Sekali-kali pandangannya diarahkan ke gubuk-gubuk tempat tinggal sebagian penduduk, yang berdiri di atas tanggul tambak. Gubuk-gubuk itu kebanyakan terbuat dari anyaman bambu (gedek), papan bekas yang mulai keropos, dan batu bata merah yang plesteran semennya mulai terkelupas.    

Tidak terlalu sulit untuk menggambarkan kondisi dan situasi perkampungan nelayan miskin di mana Nuraini tinggal dan beranak pinak ini. Meskipun tidak dapat dikelompokan ke dalam kategori tertentu, secara garis besar terdapat dua pola pemukiman penduduk di perkampungan nelayan ini: Pertama, pemukiman yang terdapat tidak begitu jauh dari bibir pantai, dekat laut. Sebagian besar rumah penduduk berjejer rapat di sisi kiri kanan aliran sungai (DAS)—Sungai Citarum—sampai ke muara menuju laut.

Aliran sungai mengalir pelan, airnya berwarna hitam kental pada musim kemarau, agak kecoklat-coklatan pada musim hujan. Di sana sini, di sepanjang aliran sungai, penuh dengan sampah berserakan yang mengambang di atas permukaan air, bau anyir ikan membusuk dan kotoran manusia yang tersangkut pada tumpukan sampah. Di sisi aliran sungai inilah tempat tinggal sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai nelayan tangkap, yang mengandalkan laut sebagai sandaran utama mata pencaharian.

Kedua, pemukiman yang terdapat di sekitar dan tidak begitu jauh dari tambak atau empang. Di samping rumah-rumah yang berjejer rapat di sisi kiri kanan jalan kampung menuju tambak, sebagian rumah penduduk berdiri di atas tanggul yang mengelilingi tambak.    

Jadi tanggul-tanggul itu di samping berfungsi sebagai petak pembatas tambak, juga berfungsi sebagai jalan dan tempat sebagian penduduk membangun rumah atau gubuk. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain relatif jauh, dari kejauhan tampak seperti villa milik orang kaya yang tidak terurus. Di sinilah tempat tinggal umumnya nelayan budidaya, yang mengandalkan tambak sebagai sandaran hidup.

Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan tambak yang sangat luas. Di sisi atau di tengah-tengahnya berdiri gubuk-gubuk reyot milik nelayan miskin. Gubuk-gubuk reyot adalah cerminan dari kehidupan penghuninya, yang juga reyot. 

Di beberapa tempat terlihat hijaunya dedaunan pohon api-api yang menjulang tinggi. Beberapa petak tumpukan tanaman bakau (mangrove) yang berserakan, tumbuh liar di pinggir-pinggir tambak dan sungai kecil yang airnya mengalir pelan. Beberapa batang pohon kelapa menjulang tinggi tampak meranggas, dari bawah terlihat beberapa butir buah di sela-sela pelapahnya yang mulai layu. Beberapa orang pemilik atau pengelola tambak terlihat sedang menebangi pohon bakau—dijadikan kayu bakar—, karena dianggap tanaman pengganggu.     

Dalam setiap jarak tidak lebih dari 100 meter—dari hulu sampai ke dekat muara di pinggir laut—, di sepanjang aliran sungai yang terdapat di sisi gubuk terlihat berderet-deret sero perangkap ikan dan udang. Di atas sero berdiri pondok kecil tempat berjaga pemilik sero dari tangan-tangan jahil pada malam hari, lengkap dengan lampu kecil sebagai alat penerangan.

Seperti bagang di tengah laut, di samping sebagai alat penerangan, lampu kecil yang digantung pada sebatang bambu atau kayu di bagian atas sero berfungsi untuk menarik perhatian ikan atau udang. Ikan atau udang pada malam hari—saat air laut pasang—masuk ke dalam sungai menuju bagian hulu sungai, akan mendekati sinar lampu kemudian masuk dan terperangkap di dalam sero. Ini berarti rezeki si pemilik sero segera tiba; pada saat sedang musim udang, satu sero bisa menghasilkan tiga sampai lima kilogram udang setiap hari. Untuk diketahui satu kilogram udang api dan udang putih—begitu penduduk lokal menyebut udang berukuran kecil itu—di tempat mencapai Rp 20 ribu (2007). Dan di antara penduduk ada yang memiliki tiga sampai lima unit sero.

Tapi tidak semua penduduk penghuni gubuk-gubuk di pinggiran tambak atau sungai itu memiliki sero sendiri. Sebab untuk membangun satu unit sero membutuhkan modal (investasi) tidak kurang Rp 2,5-3,5 juta (2007), suatu jumlah yang sangat besar menurut ukuran kantong kebanyakan nelayan miskin. Lagi pula di sepanjang aliran sungai itu, dari hulu hingga hilir, sudah dikavling-kavling. Tiap-tiap kavling ada pemiliknya. Pemilik kavling kebanyakan orang-orang tergolong berduit, yang mempunyai kemampuan membayar sewa kavling ratusan ribu kepada aparat desa atau orang-orang berseragam. Jadi jangankan tanah darat, di kampung nelayan miskin ini sungai dan laut pun sudah dikavling-kavling. 

Di samping sero, di sepanjang aliran sungai juga berdiri banyak bangunan kecil menjorok agak ke tengah-tengah sungai. Ukuran bangunan itu rata-rata 1 x 1,5 meter dengan tiang penyangga bambu atau kayu yang ditancapkan ke dasar sungai. Bangunan itu tanpa atap, dindingnya—setinggi pinggang orang dewasa—kebanyakan terbuat dari kardus, karung dan papan bekas yang berlubang. Jika orang berdiri atau nangkring di dalamnya kelihatan dari luar.

Bangunan kecil itu berdiri tidak begitu jauh dari rumah atau gubuk yang berdiri di atas tanggul di sisi sungai, dengan jembatan penghubung sebatang kayu persegi empat atau bulat agak besar. Nah... jika anda melihat helikopter yang sedang mendarat, bentuk bangunan yang berdiri di sepanjang aliran sungai itu mirip betul dengan helikopter. Jembatan penghubung ke rumah atau gubuk di atas tanggul seperti ekor helikopter. Maka oleh penduduk bangunan itu biasa disebut helikopter, tempat mereka membuang hajat. Itulah jamban keluarga.

Ketika orang membuang hajat di sana suara “merdu” segera terdengar. Bunyinya enak di telinga, plung, plung... beberapa kali. Tak lama kemudian terdengar suara riak-riak air di bawah helikopter, bahkan terdengar deburan air bergelombang agak besar. Kotoran manusia telah berpindah tempat ke dalam perut ikan, siklus dan ekosistem kehidupan terjadi secara alami di sini. Tidak ada kesia-siaan dan kepercumaan, semuanya bermanfaat bagi kehidupan. Ikan dimakan manusia untuk perbaikan dan menambah gizi, kotoran manusia dibuang ke sungai menjadi santapan ikan.

Bagi mereka yang berprofesi tani di darat dan biasa membuang hajat di dalam kebun atau sawah di belakang rumah, kotoran manusia menjadi pupuk organik ramah lingkungan. Penyubur tanaman. Buah-buahan dan sayuran menjadi bahan pangan manusia bergizi tinggi. Kemudian manusia mati dikuburkan di dalam tanah, tubuhnya menjadi santapan cacing tanah. Cacing tanah dijadikan umpan pancing oleh anak manusia yang mati, untuk menangkap ikan.  

*****

Pada musim kemarau tanggul-tanggul di sekitar tambak dapat dilalui dengan kendaraan sepeda motor. Lalu lalang kendaraan bermotor roda dua sangat ramai, dari pagi hingga malam hari. Dari kejauhan sinar lampu sepeda motor yang berjalan beriringan pada malam hari tampak seperti kunang-kunang beterbangan. Dari celah-celah dinding rumah atau gubuk yang berdiri di atas tanggul tampak kedap kedip lampu neon penerangan listrik. Ya, rupanya penduduk di sini sudah menikmati “hasil pembangunan” bangsanya, meskipun sebagian aliran listrik tersebut dialirkan dari rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir jalan kampung atau langsung mencantol pada tiang listrik yang melintas di dekat atau di atas gubuk.   

Ya, kawasan tambak yang sangat luas ini menjadi jalur alternatif penduduk Bekasi dan Jakarta pinggiran menuju perkampungan nelayan paling ujung—di dekat muara sungai di pinggir laut Jawa, pantura Bekasi. Orang-orang yang akan bepergian ke Karawang bahkan sampai Subang, melalui jalur ini. Karawang dari kampung nelayan ini sangat dekat, hanya dibatasi sebuah sungai. Itulah Sungai Citarum, yang membelah sebagian wilayah Jawa Barat menuju muara di pantura Bekasi. Dari muara sungai ini anda akan segera memasuki wilayah Teluk Jakarta, tempat di mana para pejabat akan menentukan arah pembangunan bangsa, termasuk hidup matinya penduduk kampung nelayan ini.  

Meskipun hanya berupa jalan tanah, orang-orang yang bepergian melalui jalur Balacan dapat mempersingkat perjalanan satu sampai dua jam. Tapi jika musim hujan atau banjir jalur ini tidak bisa dilewati sama sekali. Jalanan becek dan berlumpur, di beberapa tempat bahkan tergenang air setinggi pinggang orang dewasa. Dalam kondisi seperti itu, dengan terpaksa orang-orang memilih jalan yang melewati Tapak Serang. Meskipun perjalanan menjadi lama, jaraknya dua kali lipat, kondisi jalannya jauh lebih baik, beraspal dan sebagian coran semen. 

Pada hari Sabtu dan Minggu atau hari-hari libur bagi pekerja kantoran dan pegawai, jalur Blacan sangat ramai dikunjungi orang. Di mana-mana di sepanjang jalan—di pinggir-pinggir tambak atau sungai, di sekitar warung-warung kecil milik penduduk—banyak sepeda motor yang parkir. Sepeda motor tersebut milik orang-orang yang sedang mancing, para pedagang, orang-orang yang kebetulan lewat, dan milik “penjual uang” yang sedang istirahat.

Orang-orang yang mancing umumnya berasal dari daerah Bekasi, juga banyak yang berasal dari Jakarta pinggiran dan Karawang. Ada yang sendiri-sendiri, juga banyak yang berombongan tiga sampai lima orang. Pada hari libur terlihat beberapa keluarga—bapak, ibu, dan anak-anaknya—turut meramaikan kehidupan kampung dengan bermacam-macam aktivitas. Sang bapak sibuk mancing di pinggir sungai, anak-anaknya terlihat bermain air di pinggir tambak. Sang ibu asyik ngerumpi dengan perempuan pemilik warung, sembari mengawasi anak-anaknya yang sedang bermain air. 

Bagi keluarga itu mancing adalah rekreasi keluarga berbiaya murah. Tidak seperti mancing di tempat-tempat pemancingan yang dikelola secara profesional atau mancing di laut menggunakan perahu motor seperti yang sering ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta itu, mancing di sini tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Orang-orang bebas mancing di mana saja, kecuali di tambak-tambak yang sedang diolah yang ada bibit ikan bandeng atau udang yang dibudidaya. Paling-paling mereka hanya mengeluarkan biaya untuk beli bensin, makan dan jajan anak-anak. Menjelang sore mereka pulang. Ikan, kepiting atau udang yang mereka tenteng dalam kertas kresek berwarna hitam dan dibawa pulang ke rumah mereka beli dari para pedagang. Bukan hasil mancing.

“Seharian mereka mancing, ikan yang didapat hanya  beberapa ekor saja. Kecil-kecil pula. Sering tidak dapat sama sekali. Katanya mancing, tapi ikan yang dibawa pulang beli pada para pedagang. Kalau mau beli, kenapa enggak langsung beli saja. Kenapa mesti repot-repot mancing segala, hanya buang-buang waktu saja. Lucu, ya”, kata Nuraini.     

Di tempat lain terlihat beberapa orang pemancing yang berombongan lebih dari tiga orang. “Orangnya itu-itu juga”, ujar Nuraini. “Hampir setiap hari mereka terlihat mancing di sini. Ada yang bawa minuman dan makanan kecil segala. Jika enggak bawa bekal, mereka pesan makanan, kopi hangat, rokok atau lainnya di warung saya. Saya senang, rombongan orang-orang mancing itu menjadi pelanggan tetap”. 

Saking seringnya melihat rombongan para pemancing itu, ingin sekali Nuraini bertanya sesuatu pada mereka. Tapi pertanyaannya tidak pernah terungkap, takut para pemancing itu tersinggung: “Kalau setiap hari mereka mancing di sini, lalu kapan mereka bekerja?” Kira-kira begitu pertanyaan Nuraini, yang disampaikannya pada saya ketika sedang ngobrol suatu waktu. 

Pertanyaan yang tidak pernah terungkap secara eksplisit, lagi pula Nuraini tidak punya kepentingan apapun dengan status orang-orang itu. Kepentingannya hanya satu. Jika setiap hari mereka mancing di dekat warungnya berarti barang dagangan di warungnya laris manis. Mereka selalu belanja langsung bayar kontan, tidak pernah ngutang seperti kebanyakan para kuli yang bekerja di tambak.       

“Mungkin mancing itu memang pekerjaannya, mpok!”, kataku.          

“Enggak juga, mas. Kayaknya mereka mancing bukan untuk mencari ikan untuk dijual atau dibawa pulang kayak nelayan di kampung ini”, ujar Nuraini.

“Lagi pula mereka juga tahu kalau ikan di kali itu kecil-kecil, enggak ada harganya kalau dijual”, ujar Nuraini melanjutkan. “Kadang-kadang ikan yang kecil-kecil kena pancing, yang berhasil mereka tangkap dilepas lagi ke dalam kali. Mereka tertawa melihat ikan yang mereka lepas berenang miring, karena insangnya sobek terkena mata pancing. Akhirnya ikan-ikan itu mati, hanyut dan membusuk”.

Boleh jadi mancing bagi sebagian para pemancing berombongan itu adalah sebuah rutinitas untuk mengisi waktu, sekaligus menghabiskan waktu. Menjelang sore, bahkan sampai malam, mereka baru pulang. Dengan begitu para tetangganya di Bekasi atau Jakarta pinggiran akan berkata, “mereka baru pulang kerja”.

Memancing, dengan demikian, bagi para pemancing berombongan itu merupakan acara rekreasi sekaligus alat untuk membunuh waktu paling efektif bagi sebagian orang yang terlempar dari dunia kerja. Lapangan kerja sangat terbatas, sulit didapat orang-orang yang tidak punya akses dan koneksi. Menciptakan pekerjaan atau membuka usaha bukan perkara mudah, sebagian karena tidak punya modal. Jadi tidak perlu heran jika orang-orang itu berhari-hari mengisi waktunya dengan mancing di daerah ini. Entah sampai kapan.     

Pandangan Nuraini kemudian tertuju pada seorang pemancing yang, kelihatannya, hobinya memang memancing. Di samping mengisi waktu di hari tuanya—umurnya mungkin sudah lebih 60 tahun—, memancing baginya adalah hiburan. Bukan ikan yang dia cari, tapi kepuasan. Kepuasan seperti apa, hanya dia yang tahu. Buktinya ikan-ikan yang dia dapat sering diberikan kepada orang-orang yang lewat atau anak-anak Nuraini. Nuraini juga sering melihat kakek tua itu melepas kembali ikan yang baru dia dapat ke dalam sungai, seperti para pemancing yang disiarkan stasiun televisi swasta itu. Terus berulang-ulang seperti itu, hampir setiap hari atau paling tidak seminggu sekali.

Jika lapar atau haus, si kakek—sebagian rambutnya sudah beruban—memesan makanan atau minuman di warung Nuraini. Biasanya dia minta tolong anak Nuraini untuk mengantarkan makanan atau minuman pesanannya ke dekat dia mancing. Sambil makan dan minum, dia meneruskan aktivitasnya memancing tanpa harus istirahat di warung. Tampak sekali dia sedang menikmati sisa-sisa umurnya. Menjelang sore dia pulang, dengan membawa ikan atau udang yang dia beli pada pedagang. Jika tidak hujan, esok hari dia datang dan mancing lagi. Di tempat yang sama.

Menjelang siang para pedagang semakin ramai lalu lalang, lewat di depan warung Nuraini. Para pedagang hasil perikanan kebanyakan penduduk kampung ini, sebagian lainnya orang-orang Bekasi dan Jakarta pinggiran. Mereka mendapatkan ikan, udang, dan kepiting tidak langsung dari para nelayan. Kebanyakan dibeli pada para pelele langganannya, kemudian dikirim atau dijual pada pelanggannya—pemilik rumah makan yang menyajikan makanan khusus seafood di daerah Bekasi dan Jakarta. Para pedagang tidak bisa berhubungan langsung dengan nelayan, karena nelayan kebanyakan terikat pada tengkulak dan pelele—bos nelayan.

Para “penjual uang” bukan penduduk kampung ini, kebanyakan orang luar dari daerah Bekasi dan Jakarta pinggiran. Kerjanya memang keliling kampung hampir setiap hari. Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk langganannya, door to door, seperti tukang kredit peralatan rumah tangga dan pakaian menjelang lebaran. Jika kecapekan, biasanya mereka istirahat di warung Nuraini.    

Jadi di samping pemilik tambak—yang sekali-kali datang—dan kuli-kuli yang bekerja di tambak milik orang-orang kaya, pelanggan tetap atau konsumen di warung-warung kecil yang terdapat di sepanjang jalur Blacan ini sangat beragam. Berasal dari beragam strata sosial. Makanya warung-warung kopi seperti warung Nuraini selalu tampak ramai dikunjungi orang dari pagi hingga malam hari, hampir setiap hari. 

Tapi masalah segera menghadang jika musim hujan dan banjir tiba. Para pemilik warung terlihat murung, bersedih hati, karena warungnya sepi pembeli. Kecuali kuli-kuli tambak, pelanggannya tidak banyak atau tidak ada sama sekali karena tidak banyak orang yang datang atau lewat. Jadilah musim hujan dan banjir atau angin barat bagi para pemilik warung dan umumnya nelayan identik dengan “musim menjual panci”. 

Meskipun demikian, musim hujan dan banjir pada sisi lain terkadang membawa berkah yang tak terkira. Bagi sebagian pemilik sero dan keramba yang dipasang di aliran sungai, musim banjir bisa membawa rezeki yang tidak dapat dikatakan sedikit. Di samping banyak ikan atau udang dari laut yang masuk ke dalam sungai, jika banjir besar tambak-tambak milik orang-orang kaya sering kebanjiran. Air meluap, ikan bandeng atau udang—sejenis udang windu, penduduk lokal menyebutnya: pancet—yang dibudidaya di dalam tambak hanyut ke dalam sungai kemudian masuk ke dalam sero dan keramba.

Nuraini yang memiliki dua unit sero yang dipasang di dekat warungnya, dalam beberapa kali musim banjir besar mendapat rezeki lumayan banyak. Selama musim banjir, bisa dua minggu bahkan lebih, hampir setiap hari sero-nya penuh dengan udang pancet size 30-40 tiga sampai lima kilogram. Untuk diketahui harga udang pancet size 30-40 di daerah ini mencapai Rp 50-65 ribu/kg (2007).

“Sering-sering saja kayak ini. Enggak apa-apa rumah dan jalanan kebanjiran, warung sepi pembeli, asal setiap hari dapat pancet”. Demikian kelakar Nuraini beberapa minggu setelah daerah ini terendam banjir besar tahun 2007.

*****

Perkampungan nelayan ini relatif akrab bagi sebagian penduduk Jakarta pinggiran bagian utara dan umumnya penduduk Bekasi. Kampung nelayan ini menempati posisi sangat strategis dan mempunyai potensi ekonomi yang sangat penting. Luas wilayahnya hampir mendekati 20.000 ha—terluas dibandingkan kecamatan lainnya yang terdapat di Bekasi—, sebagian besar berupa tambak, tempat budidaya udang berbagai jenis dan ikan bandeng. 

Ribuan ton hasil perikanan berupa ikan, udang, rajungan dan kepiting dihasilan daerah ini. Di samping dipasarkan ke pasar-pasar lokal Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebagian besar dipasarkan ke Jakarta melalui tempat pelelangan di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Bahkan juga diekspor ke luar negeri. 

              Di Bekasi, sebagian besar kaum nelayan tinggal di perkampungan ini. Di sinilah Sungai Citarum, Ciherang, Blacan, dan CBL berada dan mengalir sampai ke muara di laut Jawa—tempat di mana sebagian besar kaum nelayan bermukim dan beranak pinak. Jadi di mana-mana hampir di seantero negeri ini, pola pemukiman penduduk itu relatif sama: tinggal dan beranak pinak tidak jauh dari sungai. Makanya, ketika orang-orang desa terutama yang berasal dari kelas bawah berurbanisasi dan bermukim di kota umumnya tinggal di pinggiran atau bantaran sungai di dalam kota. Budaya dan kebiasaan bermukim di sekitar sungai seperti di desa-desa dibawa serta ke kota, termasuk membuang hajat ke dalam sungai.   

Bagi Nuraini dan umumnya masyarakat di kampung nelayan ini, sungai adalah hidup dan kehidupan itu sendiri. Di sekitar sungai-sungai itulah hampir semua aktivitas sosial dan ekonomi berlangsung. Bahkan banyak orang memperbincangkan berbagai persoalan kehidupan seperti politik kontemporer kampung sambil mandi dan membuang hajat, sahut-sahutan dari balik helikopter—karena jarak helikopter yang satu dengan yang lainnya berderet dan berdekatan. Jika kemudian sungai-sungai itu rusak dan tercemar—dampak langsung perubahan sosial dan aktivitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan—, berarti pembangunan telah merenggut sebagian atau bahkan seluruh kehidupan masyarakat itu.

Itulah dampak yang kini terjadi pada masyarakat perkampungan nelayan miskin ini, termasuk Nuraini. Begitu melihat saya datang dan duduk di bale di depan warungnya, Nuraini langsung mengumpat keadaan—mulutnya ngeracau tak karuan. Saya tak heran, sudah biasa Nuraini seperti itu jika sero-nya hanya mendapat udang hanya sedikit atau tak dapat sama sekali.

“Ada apa mpok, ngamuk kayak orang kesurupan saja?“, tanyaku. 

“Susah banget cari duit sekarang, mas”, kata Nuraini. “Cari udang setengah kilo saja susahnya minta ampun. Padahal dulu untuk dapat satu-dua kilo udang gampang sekali, bahkan sering dapat lima-sepuluh kilo setiap hari. Nah.. sekarang? Pokoknya sejak SBY jadi presiden, apa-apa susah. Harga BBM naik terus, harga beras enggak pernah turun. Ah... payah”.

Dua unit sero Nuraini pagi itu hanya menghasilkan udang tidak sampai setengah kilogram. Sungai-sungai sudah tercemar limbah industri yang sengaja dibuang ke dalam sungai oleh mereka yang mengklaim dirinya berperadaban tinggi. Kini air sungai tidak layak lagi dipergunakan untuk berbagai keperluan, ikan dan udang pun mati. Untuk kebutuhan air minum dan masak penduduk terpaksa membeli air bersih yang didatangkan dari luar dengan harga mahal, biaya hidup keluarga bertambah besar. 

Meskipun terletak tidak begitu jauh dari Jakarta, untuk mencapai perkampungan nelayan ini bukan perkara mudah—apalagi pada musim hujan dan banjir. Menggunakan kendaraan umum lewat darat dari Bekasi atau Cikarang bukan pilihan bijak. Di samping menghabiskan waktu yang lama, pilihan ini akan membutuhkan biaya relatif besar karena angkutan umum tidak sampai ke perkampungan nelayan paling ujung. 

Sebetulnya trayek angkutan umum dari Cikarang sampai ke perkampungan paling ujung. Di kampung paling ujung terdapat terminal yang dibangun dengan dana besar. Tapi setelah mendapat protes keras—bahkan dengan ancaman kekerasan—dari para tukang ojek, kendaraan umum tidak pernah sampai ke ujung tempat sebagian kaum nelayan bermukim. Di tengah jalan, sekitar 10-15 km sebelum sampai ke terminal, kendaraan umum sudah berhenti. Tempat pemberhentian itu kini sudah berubah menjadi pangkalan ojek dan kendaraan umum. Semacam terminal bayangan, tempat ngetem untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Para penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke ujung dipersilahkan naik ojek. Inilah “mekanisme bagi-bagi rezeki” antara sopir mobil angkutan umum dan tukang ojek. 

Di sekitar pangkalan tempat pemberhentian kendaraan umum berdiri beberapa warung kecil yang buka sampai malam. Warung-warung itu menyediakan berbagai kebutuhan para sopir dan tukang ojek. Jika malam  warung-warung terlihat temaram, lampu remang-remang menerangi. Terlihat beberapa orang perempuan berusia muda, gadis dan janda, selalu tersenyum, siap melayani setiap pelanggan di warungnya.

Terminal kampung yang dibangun dengan dana ratusan juta terbuang percuma, sia-sia. Terminal itu kini tidak berfungsi sebagaimana layaknya sebuah terminal. Bangunan-bangunan yang dibangun dengan uang negara—berarti uang rakyat pembayar pajak—sebagian sudah hancur total. Sebagian bangunan yang masih tersisa seperti rumah hantu, gelap gulita, jika malam berubah fungsi menjadi kandang kambing. Halamannya becek, seperti kubangan kerbau.

Di samping faktor jarak yang relatif jauh, keterbatasan kendaraan umum angkutan darat menjadi penyebab sebagian penduduk kampung nelayan ujung jarang bepergian ke Bekasi atau Cikarang. Jadi meskipun penduduk Bekasi, mereka tidak begitu mengenal ibukota kabupatennya. Mereka lebih mengenal ibukota negara, meskipun hanya Jakarta pinggiran bagian utara yang dikenal orang sebagai salah satu sarang penyamun. 

Kecuali pada musim angin barat atau ombak besar, untuk berbagai keperluan penduduk lebih memilih pergi ke Cilincing. Jaraknya lebih dekat, waktu tempuh lebih cepat, ongkosnya pun lebih murah daripada menggunakan angkutan umum lewat darat menuju Bekasi atau Cikarang. Untuk kepentingan itu, penduduk mengandalkan sarana transportasi air perahu motor dengan menyusuri Sungai Citarum menuju muara ke Teluk Jakarta sampai Cilincing.

Jadi di samping menyusuri jalan tanah di pinggiran tambak dengan kendaraan sepeda motor, menyusuri rute Sungai Citarum perjalanan dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar satu jam. Jauh lebih cepat dibandingkan naik kendaraan umum melalui jalan darat menuju Cikarang atau Bekasi kota, yang mencapai dua sampai tiga jam bahkan lebih.    

              Kampung nelayan ini terletak di pantura Bekasi, mempunyai potensi utama pada sektor perikanan laut dan darat. Di samping ikan dan berbagai jenis biota laut lainnya, produksi terkenal daerah ini adalah rajungan—sejenis kepiting—yang dapat ditangkap sepanjang tahun. Sektor perikanan darat adalah usaha pertambakan, tempat budidaya ikan bandeng dan udang. Ikan bandeng daerah ini sangat terkenal, rasanya agak manis dan tidak bau tanah.

              Selain biaya tenaga kerja dan pengadaan bibit, pengolahan usaha tambak di daerah ini umumnya tidak mengenal biaya pakan dan obat-obatan. Kecuali pemilik modal besar, hampir semua penduduk yang mengolah usaha pertambakan secara tradisional dengan mengandalkan pakan dan obat-obatan yang disediakan oleh alam. Hampir setiap hari dari tambak yang sama, para pengelola atau pemilik tambak dapat memanen “udang alam” yang tumbuh sendiri alias tidak ditanam. “Udang alam” masuk ke dalam tambak saat air laut pasang melalui pintu-pintu air tambak. Di pintu air itu dipasang jaring perangkap, “udang alam” masuk ke dalam jaring dan tidak bisa keluar lagi. “Udang alam” yang didapat setiap hari menjadi penghasilan harian keluarga nelayan, sembari menunggu panen ikan bandeng dan pancet yang dibudidaya empat sampai lima bulan.  

Masalahnya sebagian besar penduduk hanya bekerja sebagai buruh tambak. Sebagian besar tambak adalah milik atau dikuasai oleh orang-orang kaya kampung dan orang luar. Jika pun ada di antara penduduk yang memiliki tambak sendiri, kebanyakan di antaranya kesulitan mengelolanya karena ketiadaan modal untuk membeli bibit dan biaya pemeliharaan seperti pakan dan obat-obatan. Makanya banyak tambak penduduk yang sudah beralih tangan—dijual, disewakan atau digadai pada pemilik modal. Jadilah penduduk menjadi buruh di tambak, yang sebetulnya milik mereka sendiri.

Pencurian-pencurian ikan bandeng atau udang yang dibudidaya sering terjadi, yang justru dilakukan oleh buruh atau orang-orang yang diserahi tanggungjawab mengelola tambak. Udang berumur dua sampai tiga bulan—belum waktunya dipanen—dipanen lebih dulu oleh buruh atau pengelola secara diam-diam hampir setiap hari. Dengan demikian, ketika saatnya panen (umur empat sampai lima bulan) udang yang ditanam berkurang jumlahnya, tidak sesuai harapan. Bahkan sering terjadi, saat panen udang yang diperkirakan berjumlah banyak sudah tandas habis. Makanya setelah udang dan ikan bandeng yang ditanam berumur di atas dua bulan, biasanya pemilik modal ikut berjaga siang malam di tambak—menemani para kulinya berjaga di tambak, sampai panen.  

Para nelayan tangkap umumnya tidak memiliki alat tangkap sendiri. Perahu motor yang mereka pergunakan, jaring atau jala, dan biaya operasional seperti bahan bakar adalah milik dan “budi baik” tengkulak. Hasil tangkapan, dengan demikian—setelah dikurangi biaya produksi selama melaut seperti bahan bakar, konsumsi, rokok, dan lain-lain—dibagi dua (50:50); 50% untuk pemilik perahu/modal, 50% milik nelayan. Inilah usaha yang biasa disebut dengan sistem maro. Jika jumlah nelayan melaut berjumlah tiga orang maka, 50% bagian nelayan dibagi tiga di antara mereka.

Karena alat tangkap dan biaya lainnya ditanggung oleh pemilik modal atau tengkulak maka, hasil tangkapan nelayan tidak boleh dijual pada orang lain. Etika atau aturannya, jika alat tangkap dan biaya operasional ditanggung oleh tengkulak, hasil tangkapan harus dijual pada tengkulak yang menanggung peralatan dan semua biaya melaut. Mirip dengan petani yang tidak punya alat produksi seperti tanah dan biaya produksi, yang harus menjual gabah miliknya kepada tengkulak yang telah meminjamkan modal.    

Nah... untuk menambah penghasilan, seringkali para nelayan menjual sebagian hasil tangkapannya pada orang lain di tengah laut. Lagi-lagi mirip dengan buruh tani yang menyembunyikan beberapa karung gabah di tengah sawah saat panen, dan dibawa pulang setelah malam ketika pemilik sawah sudah pulang.

Tidak semua hasil tangkapan disetor atau dijual nelayan pada tengkulak pemilik alat tangkap dan modal. Oleh karena itu untuk membalas kecurangan para nelayan di tengah laut, tengkulak atau pelele bermain dalam hal harga beli; ikan atau rajungan tangkapan nelayan dihargai lebih murah daripada harga pasar, timbangan pun dipermainkan. Jadi lengkaplah sudah kecurangan-kecurangan yang terjadi, yang sebetulnya sama-sama diketahui oleh kedua belah pihak. 

*****

Sembari menunggu kebijakan-kebijakan yang lebih memihak penduduk, kini masalah-masalah kian bertambah banyak: usaha perikanan (darat dan laut) seringkali menghadapi ancaman yang sangat mengerikan, pencemaran limbah industri. Limbah pabrik yang sengaja dibuang ke Sungai CBL, Citarum, dan sungai-sungai lainnya, airnya mengalir ke dalam tambak dan laut di daerah ini. Konsekuensinya adalah ikan bandeng dan udang yang dibudidaya di dalam tambak mengalami stres dan mati, akhirnya gagal panen jika tambak tidak dipelihara dan dijaga dengan baik; para nelayan pantai (nelayan tangkap) mendapat pukulan telak, karena rajungan tercemar limbah dan ditolak pihak pabrik (eksportir) pengolahan daging rajungan.   

              Di antara berbagai faktor lainnya, faktor pencemaran itulah yang menyebabkan kehidupan ekonomi sebagian besar nelayan makin terpuruk. Jadi benarlah kata orang-orang pintar, potensi alam yang melimpah yang terdapat pada suatu daerah bukan berarti secara paralel tingkat kesejahteraan penduduknya terjamin lebih baik. Bahkan di banyak tempat potensi alam yang melimpah justru menjadi penyebab penduduk lokal tersingkir, tergusur dari kampung halamannya. 

Bagi orang-orang luar yang pernah berkunjung ke perkampungan nelayan ini, yang tampak hanya wajah kemiskinan. Selain terdapat rumah-rumah mewah yang terkesan “wah” yang berjejer di sisi jalan kampung, sebagian besar rumah penduduk kelihatan kusam dan tidak sehat. Orang-orang yang datang ke perkampungan ini akan langsung disergap bau “khas” menusuk hidung yang berasal dari aliran Sungai Citarum yang mengalir pelan berwarna hitam kental, serta bau anyir ikan yang membusuk.

              Sampah berserakan di mana-mana karena sebagian besar penduduk membuang sampah di sembarang tempat, biasanya ke dalam sungai. Anak-anak kecil, juga orang-orang dewasa, di sana sini terlihat sedang membuang hajat di dalam helikopter di bibir sungai; orang-orang yang duduk nangkring di dalam helikopter itu kelihatan dari jalan atau dari jembatan penyeberangan yang melintas di atasnya.  

Di tempat-tempat pemandian umum terlihat laki-laki, tua-muda, yang sedang mandi hanya berbungkus celana cawat. Juga terlihat perempuan dewasa juga sedang mandi di tempat yang sama, hanya berbalut kain sarung tipis sebatas dada. Ketika berenang atau menyelam, bagian bawah sarung sering tersingkap sampai ke pinggang apalagi jika terkena deburan ombak ketika ada perahu motor yang sedang lewat. Jangan-jangan jika terlihat “polisi moral” mereka akan segera ditangkap, karena dianggap penyebar paham pornografi dan pornoaksi. 

Ibu-ibu rumah tangga terlihat sedang nongkrong di beranda rumah sembari menunggu pulang suaminya sedang melaut atau bekerja di tambak. Lainnya ada yang sibuk menimba air, mencuci pakaian di sungai, membetulkan jaring atau jala yang rusak. Juga ada yang terlihat ngerumpi dan cari kutu, hampir setiap hari. 

              Sebagian besar rumah-rumah penduduk memanjang dan berjejer rapat di pinggir dan sekitar aliran sungai, juga banyak yang berdiri di atas tanggul di sekitar tambak. Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari kayu dan triplek bekas yang terlihat kusam, bahkan banyak yang terbuat dari bambu atau gedek yang tampak lapuk. Tidak ada fasilitas MCK di dalamnya, oleh karenanya aliran sungai yang mengalir di sekitarnya sangat besar artinya; di samping sebagai tempat mandi dan mencuci, sungai sekaligus sebagai tempat membuang hajat. Dalam situasi lingkungan seperti itu, kesehatan dan air bersih adalah kemewahan!

Di antara berbagai penyakit yang umumnya diderita penduduk adalah diare, demam berdarah, gatal-gatal, batuk dan bengek. Inilah “khas” penyakit masyarakat kelas bawah yang “tidak berkelas”, berbeda dengan penyakit orang-orang kaya dan penggede; gagal jantung dan stroke, karena kebanyakan makan makanan berlemak dan kekenyangan.  

              Perkampungan nelayan ini berada pada posisi sejajar atau bahkan lebih rendah dari permukaan laut. Air tanah terintrusi air laut, terasa asin, sehingga kebutuhan air bersih untuk masak dan minum penduduk terpaksa membeli air di tampat-tempat penampungan air bersih milik orang-orang kaya desa. Harganya jauh lebih mahal dibandingkan berlangganan langsung ke PAM. 

Hujan yang pada satu sisi dapat mendatangkan bencana banjir, sungguh sebuah rahmat. Penduduk dapat menggunakan air hujan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk masak dan minum secara gratis. Saat hujan betul-betul dimanfaatkan oleh penduduk untuk menampung air hujan, dengan menggunakan berbagai peralatan seperti ember dan tong-tong besar.

Secara geografis posisi perkampungan nelayan ini sangat strategis, dekat dengan ibukota negara (Jakarta) dan mempunyai potensi ekonomi yang sangat menggiurkan. Di samping memiliki kekayaan pada sektor perikanan, di daerah ini juga ditemukan sumber minyak bumi dan gas.

Berdasarkan rencana pemerintah daerah, daerah ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Khusus Pantura Kabupaten Bekasi. Di daerah ini akan dibangun pelabuhan dan terminal peti kemas, pabrik petrokimia dan baja. Untuk mendukung rencana besar itu lahan-lahan dibebaskan, jalan-jalan dan jembatan mulai dibangun. Inilah awal dan langkah besar menuju masa depan: Industrialisasi!

Tapi industrialisasi adalah sesuatu yang asing bagi sebagian besar penduduk lokal. Makanya dalam banyak kasus, pembangunan dan industrialisasi justru menyengsarakan sebagian besar penduduk lokal ketimbang mengangkat taraf kehidupannya menjadi lebih baik.   

Bagi pemerintah daerah potensi lokal adalah sebuah aset yang sangat menggiurkan. Tapi bagi sebagian besar penduduk miskin rencana pembangunan dan industrialisasi kerapkali menjadi masalah besar, bahkan tragedi. Kemungkinan mereka akan kehilangan tempat tinggal dan kesempatan untuk mengelola potensi-potensi ekonomi yang ada cukup besar, karena yang menjadi pertimbangan pemerintah hanya kepentingan ekonomi dan prestise. 

Pengalaman selama ini membuktikan, kebijakan-kebijakan pembangunan lebih berorientasi pada pemilik modal, bukan penduduk lokal. Paling banter sebagian penduduk lokal akan menjadi buruh atau kuli di pabrik-pabrik industri berupah rendah. Lainnya akan tersingkir, terasing, menjadi tamu di kampung halaman sendiri, bahkan “terdepak” dari pangkalan budayanya. 

Di mata pengambil kebijakan sebagian besar penduduk dianggap menempati lahan, baik untuk tempat tinggal maupun tambak, yang diklaim sebagai milik kehutanan atau perhutani. Makanya, meskipun di daerah ini tidak ada lagi hutan, statusnya tetap diklaim sebagai hutan. Dan penduduk yang sudah tinggal dan beranak pinak selama puluhan tahun di sini hanya dipandang sebagai “penumpang gelap”, penggarap, yang setiap waktu dapat di(ter)gusur.

Tidak dapat dibayangkan akan seperti apa perkampungan nelayan ini dalam waktu lima atau 10 tahun ke depan. Yang pasti, sangat banyak mobil—kebanyakan dari Jakarta dan Bekasi—berseliweran di jalan-jalan raya kampung. Mereka adalah spekulan-spekulan tanah bersama kaki tangannya yang tidak lain penduduk lokal. Hampir setiap hari mereka asyik ngobrol dengan penduduk lokal di rumah-rumah atau di warung kopi. Topik pembicaraannya selalu berkisar pada masalah atau tawar menawar harga jual beli tanah. Dan, ketika pamit pulang mereka biasanya meminta foto copy surat tanah.

“Sampai bosan saya”, kata Hamid—salah seorang pemilik tambak yang hendak menjual tambaknya. “Hampir setiap hari selalu ada saja orang berombongan datang yang mau membeli tanah. Tapi belum ada realisasinya. Setelah foto copy surat-surat tanah dibawa, mereka tidak pernah datang lagi. Besok datang rombongan lain, juga meminta foto copy surat tanah. Terus seperti itu”.

Sambil tertawa terkeke-keke Hamid menuturkan: “Jika melihat orang-orang bermobil atau bermotor berombongan datang penduduk sini langsung berkata, wah..... orang-orang ‘RCTI’ (Rombongan Calo Tanah Indonesia) datang tuh”.

Sebagian penduduk yang memiliki tambak sangat senang karena membayangkan akan segera mendapatkan uang yang tidak sedikit jika tanah dan tambaknya terjual dengan harga mahal. Dulu harga tanah hanya ribuan perak per meter, kini tawarannya—karena banyaknya calon pembeli—bisa mencapai empat sampai lima kali lipat.

Iming-iming mendapatkan uang banyak menjadi dambaan hampir semua penduduk. Soal nanti akan tinggal di mana dan bekerja apa agaknya tidak pernah menjadi pertimbangan. Yang penting, jika punya tanah atau tambak jual saja dulu. Soal nanti akan jadi apa, ya terjadilah. “Semua sudah ada yang mengatur”, kira-kira begitu yang sering diungkap penduduk yang hendak menjual tanah atau tambaknya. 

Tidak ada skenario masa depan. Skenario masa depan bukan tipikal masyarakat kelas bawah. Tapi mereka mempunyai kelenturan, kemampuan adaptasi, dan kepasrahan hidup luar biasa terhadap situasi yang terjadi. Mereka mempunyai daya tahan yang sangat besar, kemampuan menyesuaikan diri dengan segala macam situasi dan keadaan mengancam sekalipun.

“Di samping enggak punya modal yang cukup, usaha sebagai nelayan dan mengelola tambak sudah enggak menguntungkan lagi. Tambak—jika tidak ditongkrongi setiap hari—sekarang sering tercemar limbah, ikan dan udang juga sering dicuri. Rajungan ditolak pabrik, ikan bandeng dan udang di dalam tambak selalu stres kemudian mati. Gagal panen sering terjadi. Kembali modal saja sudah bagus, tapi banyak yang rugi”. Kira-kira begitu alasan penduduk yang hendak menjual tambaknya.

Usaha tambak membutuhkan modal besar, jika modal hanya sedikit lebih baik tidak usah mengolah tambak. Biaya operasional semakin besar, apalagi harga BBM berkali-kali naik. Sementara harga ikan atau rajungan yang didapat tidak seberapa, harga jualnya pun hampir tidak pernah naik. Tidak sebanding dengan biaya produksi. Daripada rugi terus lebih baik tambaknya dijual, uangnya dapat dipergunakan sebagai modal untuk usaha lain. Jika nasib mujur kemungkinan kondisi ekonomi keluarga akan menjadi lebih baik, tapi jika nasib sial pasrahkan saja pada yang Maha Kuasa.    

Sebagian tambak sudah beralih tangan, sebentar lagi beralih fungsi. Penduduk pun akan segera beralih profesi. Kampung nelayan ini akan segera berubah wajah, menjadi kawasan industri yang tidak berhubungan langsung dengan potensi alam dan kehidupan penduduknya. Mungkin penduduk kampung ini di masa depan adalah mereka yang mengkonsumsi ikan yang diimpor dari luar negeri, seperti nasi yang dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia yang bekerja sebagai petani tapi beras didatangkan dari luar negeri.  

Indonesia, memang, sebuah ironi. Negara yang dikenal sebagai negera agraris tapi kebutuhan pangan penduduknya seperti beras, kedelai, jagung, ketan, diimpor dari luar negeri. Indonesia dikenal sebagai negeri bahari, lautan menghapar luas, sebagian penduduknya bekerja sebagai nelayan, tapi kebutuhan akan tepung ikan didatangkan dari luar negeri (impor).

Nuraini hanya bisa pasrah, tekanan-tekanan yang datang bertubi-tubi dianggapnya sudah biasa. Dalam kepasrahannya dia hanya bisa berharap, karena hanya harapan-harapan itulah yang masih tersisa.

“Kapan ya di sini berdiri pabrik pengolahan ikan bandeng, udang, kepiting. Jika ada pabrik pengolahan di sini, kita ‘kan enggak perlu menjual ikan atau udang jauh-jauh ke Jakarta. Ongkosnya mahal. Coba kalau di sini dibangun pabrik pembuatan alat tangkap seperti jaring atau jala, perahu motor, dengan harga terjangkau agar kita orang-orang kecil ini bisa membeli”. Kira-kira begitu harapan Nuraini.

Tapi suara Nuraini tak terdengar pengambil kebijakan negeri ini. Di samping tidak terdengar, suaranya dianggap tidak penting. Suaranya tak berbunyi, hilang ditelan deburan ombak laut yang kian ganas.

Suara Nuraini, suara rakyat, tak terdengar karena kalah gemuruh dengan suara para wakilnya di parlemen yang meminta kenaikan gaji dan fasilitas. Agaknya kesejahteraan Nuraini yang miskin cukup diwakilkan pada anggota DPR/D yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Penderitaan dan kemiskinan? Kau tanggung sendirilah!

Nuraini tersentak kaget. Seorang kuli tambak datang ke warungnya hendak membeli gula dan kopi, berteriak minta tolong dan mengatakan bahwa perahu Nuraini hanyut. Kuli tambak itu tertawa terkekeh-kekeh melihat Nuraini yang tergagap.

“Sialan kau. Mau ngapain, ngutang lagi ya?!”, kata Nuraini tampak kesal.

“Sori mpok, begini-begini enggak pernah ngutang. Ngelamunin apa sih, kangen sama abangnya ya? Memangnya sudah lama abang enggak datang kemari?, sahut kuli tambak itu.

“Kayaknya mpok butuh ‘kehangatan’ nih”, ujar kuli tambak itu melanjutkan. “Pakai kompor saja mpok, biar hangat”. 

Nuraini tampak makin kesal, tapi tidak marah. Dia langsung masuk ke dalam warung mengambil barang pesanan pelanggannya itu. Setelah barang diserahkan, Nuraini langsung berujar: “Sudah kabur sana. Suntuk saya melihat wajahmu. Muka berkerut terus, kaya ditekuk begitu. Memangnya sudah berapa lama bininya enggak datang ke tambak? ‘Kedinginan’ terus ya setiap malam?”.

Kuli tambak itu tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum, langsung kabur ke tambak yang tidak begitu jauh dari warung Nuraini. Sambil berlari dia berujar: “Mpok, kalau butuh ‘kehangatan’ bilang saja. Nanti saya bawakan kompor, kebetulan ada sedikit minyaknya tuh”.

Nuraini tidak menanggapi, kuli tambak itu sudah jauh dan tidak kelihatan lagi. “Begitulah kelakuan kuli-kuli di sini”, kata Nuraini sambil tertawa. “Bercandanya jorok, omongannya enggak jauh-jauh dari selangkangan”.

Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum, sambil nyeruput segelas kopi yang mulai dingin. Sedingin kehidupan nelayan. 

      

            

       

 

 

         

 

 

             

 

 

 

 

 

    

 

       

                  

 

 

 

 

 

 

3