Thursday, September 17, 2009

"KONGLOMERAT" DESA

(Catatan Tentang Peran Tengkulak)
Oleh: Firmansyah

Bukan hanya urusan bercocok tanam di sawah, hubungan petani dengan tengkulak merupakan persoalan “kepatuhan dan kesetiaan”. Hanya tengkulak yang bisa menjamin hampir seluruh kebutuhan hidup keluarga tani, maka “tali ikatan” yang menghubungkan petani dengan tengkulak selalu dijaga dan dipelihara.

Meskipun tercatat sebagai utang, selama petani masih mampu mencangkul di sawah biaya hidup keluarganya dijamin tengkulak. Dalam kondisi darurat seperti anggota keluarga sakit misalnya, tengkulak menjadi tumpuan harapan untuk biaya berobat ke rumah sakit. Jadi tak perlu heran jika kebanyakan petani kecil di pedesaan berhubungan dengan keluarga tengkulak secara turun temurun. Antar generasi.

AKSES EKONOMI
Secara umum petani dapat dikelompokan ke dalam empat kategori. Pertama, petani penggarap; yaitu petani yang menggarap sawah milik tengkulak dengan sistem sewa. Di daerah Bekasi misalnya, sewa sawah—dibayar dalam bentuk gabah setelah panen, rata-rata satu ton per hektar (2007/08)—diperhitungkan per sekali musim tanam.
Seorang petani penggarap sawah 0,5 ha di Bekasi, paling tinggi menghasilkan gabah dua ton. Hanya 1,5 ton milik petani, sedangkan 0,5 ton biaya garap. Jika dirupiahkan dengan harga gabah Rp 2.200/kg (2008), biaya garap tersebut mencapai Rp 1,1 juta. Ini tidak termasuk biaya produksi yang mencapai Rp 1,5 juta.
Jika 1,5 ton gabah milik petani dijual semua, uang yang dihasilkan Rp 3,3 juta. Setelah dikurangi biaya produksi, sisanya Rp 1,8 juta. Lumayan besar. Tapi tidak ada uang yang bisa dibawa pulang, karena petani harus membayar utang biaya hidup keluarganya rata-rata Rp 2 juta selama musim tanam (4 bulan).
Kedua, petani gurem; yaitu petani yang memiliki lahan tidak sampai 0,5 ha. Di daerah Bekasi, petani gurem rata-rata memiliki lahan 0,25 ha. Biaya produksinya mencapai Rp 750 ribu, biasanya pinjam pada tengkulak. Utang biaya produksi ini juga dibayar dalam bentuk gabah setelah panen.
Dari sawah seluas 0,25 ha itu paling tinggi manghasilkan gabah satu ton. Jika dijual semua, setara Rp 2,2 juta. Setelah dikurangi biaya produksi, sisanya Rp 1,450 juta. Ini tidak cukup untuk biaya hidup keluarganya selama musim tanam (4 bulan) yang mencapai Rp 2 juta.
Ketiga, buruh tani; yaitu petani yang mengolah sawah milik tengkulak dengan mendapat upah. Pada musim tanam buruh tani dapat upah Rp 15-25 ribu/hari (2007/08), musim panen upah dibayar dalam bentuk gabah dengan sistem 6-1: setiap enam (6) karung gabah yang berhasil dipanen—isi 50 kg/karung—, lima karung milik tengkulak, satu karung milik buruh tani.
Untuk menambah penghasilan buruh tani sering menyembunyikan beberapa karung gabah di tengah sawah, dibawa pulang pada malam hari. Inilah “perlawanan diam-diam” buruh tani terhadap tengkulak, seperti “perlawanan” petani terhadap negara dengan memboikot bayar pajak.
Keempat, tengkulak; yaitu petani kaya yang memiliki lahan luas. Di daerah Bekasi, tengkulak rata-rata memiliki lahan 10 ha. Di daerah Karawang dan Subang lebih luas lagi.
Sawah milik tengkulak biasanya diolah petani yang tidak punya lahan, dengan beberapa cara: (1) sistem maro, usaha pertanian dengan sistem bagi hasil. Jika biaya produksi ditanggung petani, hasil panen—setelah dikurangi biaya produksi—dibagi dua atau maro (50:50). Jika biaya produksi ditanggung tengkulak, hasil panen dibagi tiga. Satu bagian untuk petani, dua bagian untuk tengkulak; (2) sistem upah, usaha pertanian menggunakan buruh tani. Semua biaya termasuk risiko tanggungjawab tengkulak, hasil panen semua milik tengkulak; dan (3) sistem garap, usaha pertanian dengan cara penyewaan sawah kepada petani penggarap.

JARINGAN PASAR
Di Bekasi dan umumnya pantura Jawa Barat—salah satu sentra beras negeri ini—, tengkulak bukan hanya memiliki lahan luas dan menguasai gabah. Tengkulak di daerah ini memiliki pabrik penggilingan padi, toko penyedia input komersial pertanian, traktor dan mesin pompa penyedot air. Dengan demikian, tengkulak merupakan “konglomerat” yang menguasai “industri hulu” sekaligus “industri hilir” yang menguasai hampir seluruh akses ekonomi di pedesaan.
Tengkulak dalam kehidupan petani dipandang sebagai orang yang memudahkan petani dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kemudahan-kemudahan (baca: utang) yang diberikan dianggap sebuah “kepercayaan”. Semakin besar utang yang diberikan dianggap semakin tinggi tingkat “kepercayaan” tengkulak pada petani, mirip ibu pertiwi yang menganggap utang luar negeri sebagai “kepercayaan” negara kaya. Tapi, di balik kemudahan-kemudahan itu terselip motif untuk menguasai dan mendominasi agar petani makin tergantung pada tengkulak. Semakin tinggi ketergantungan petani pada tengkulak semakin mudah eksploitasi ekonomi terhadap petani.
Dengan cara itulah tengkulak bisa hidup enak dan kaya, mirip IMF yang hidup dari pinjaman yang diberikan kepada negara miskin seperti Indonesia. Masalahnya bagi petani, tengkulak juga “IMF” (Ipar, Mertua, Famili). Hubungannya terbangun atas dasar ikatan religius dan budaya—kebanyakan tengkulak tokoh agama dan masyarakat—serta kekerabatan, yang menyebabkan petani makin terikat dan tergantung pada tengkulak. Mustahil dapat ditembus dengan ide pemberdayaan melalui program “bagi-bagi uang recehan” berjangka waktu pendek yang bersifat parsial.
Tanpa ada kekuatan memaksa, hubungan petani dengan tengkulak sangat sulit diurai. Bagaimana pun, karena tak punya lahan, petani mau tidak mau harus berhubungan dengan tengkulak pemilik lahan. Sekalipun punya lahan (sempit), biaya produksi pinjam pada tengkulak. Sebab selain tengkulak, tidak ada orang atau lembaga yang sudi meminjamkan modal pada petani tanpa jaminan. Untuk memasarkan produknya, petani harus berhubungan dengan tengkulak karena hanya tengkulak yang menguasai pasar.
Dalam kondisi seperti itu, pilihan buat petani hanya satu: BERHENTI JADI PETANI. Inilah yang mendorong petani meninggalkan desa, berbondong-bondong menyerbu kota-kota besar (urbanisasi) untuk memasuki dunia baru. Dengan demikian hanya perbuatan sia-sia jika rezim kota melarang orang-orang desa menetap di kota jika faktor-faktor pendorong di desa tidak dibenahi. Tangkap menangkap penduduk miskin kota dan mengembalikan mereka ke desa-desa hanya menjadi ritual tahunan setelah lebaran. Ini “proyek akal-akalan” untuk menggelembungkan pundi-pundi pejabat dan aparat. Penduduk miskin yang ditangkap kemudian dikembalikan ke desa-desa akan kembali lagi ke kota, dengan membawa teman-teman dan saudaranya jauh lebih banyak.
Namanya juga “proyek akal-akalan”, yang untung aparat pemerintah. Bukankah urusan tangkap menangkap penduduk miskin kota ada dananya, ada biaya operasionalnya yang dianggarkan dalam APBD?

No comments:

Post a Comment